Indonesia.go.id - Bisa Picu Tsunami, Krakatau Harus Terus Terdeteksi

Bisa Picu Tsunami, Krakatau Harus Terus Terdeteksi

  • Administrator
  • Kamis, 27 Desember 2018 | 03:04 WIB
GUNUNG BERAPI
  Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. Sumber foto: Dok Susi Air

Foto satelit menunjukkan longsor seluas 64 ha di dinding Gunung Krakatau. Berkombinasi dengan gelombang pasang purnama, muncul tsunami yang mematikan.

Krakatau termasuk salah satu gunung api paling aktif di Indonesia. Sejak Juni lalu, dia tak henti-henti bergetar, meletup-letup,  seraya mengepulkan asap tebal ke langit. Sesekali, lava pijar mengalir dari  kawahnya yang menganga di punggung  gunung.  Asap putih menyeruak pekat ke udara, ketika lava panas itu menyusup ke kedalaman laut.

Berbulan-bulan aktivitas vulkanik Krakatau dianggap belum menimbulkan ancaman serius. Kalaupun guncangannya meningkat, menyemburkan lava dan menerbangkan material padat ke langit, radius bahaya hanya ditetapkan di radius 2 km. Semua mata hanya mewaspadai derasnya aliran lava serta magnitude guncangannya. Tak tercatat adanya level kegempaan yang membawa resiko secara luas.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1545880068_Citra_Satelit.jpeg" style="height:500px; width:667px" />

Perbandingan citra satelit sebelum dan sesudah longsor Krakatau. Sumber foto: Data Satelit Radar Sentinel-1A orbit dan BPPT

Erupsi  Krakatau sempat menguat awal November 2018. Terpantau, dalam tempo 24 jam, tubuhnya yang bergetar-getar menimbulkan fenomena 673 kegempaan. Pada puncaknya hari itu, kawahnya menyemburkan lava pijar disertai asap pekat yang terlontar sampai 750 meter.

Sesudah itu tampak ada perubahan, erupsinya tak lagi lurus ke atas. Asap erupsinya bergulung-gulung melebar setinggi 500 meter seperti terekam di hari H 22 Desember. Fenomena itu  mengindikasikan bahwa cerobong kawah Krakatau berubah, lorongnya semakin lebar. Diduga, ada runtuhan di dalam tanah.

Gunung Krakatau yang menjulang 300 di atas permukaan laut Selat Sunda itu kini dianggap sebagai pemicu tsunami  22 Desember silam. Ada bukti yang mengindikasikannya. Membandingkan dua foto satelit  11 dengan 23 Desember, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Profesor Dwikoriwati Karnawati mengatakan ada perbedaan bentuk yang nyata. Sebagian dari  daratan 400 hektar yang menjadi tumpuan Krakatau longsor ke laut. Sekitar 64 ha luasnya, di sisi selatan pulau.

Material longsoran itu yang secara masif terjun ke laut itu menimbulkan perubahan mendadak pada paras laut. Ada sebagian muka laut yang tiba-tiba terangkat, itulah penyebab timbulnya gelombang tsunami. Bahwa longsoran yang “hanya” sekitar 64 ha, tapi bisa membangkitkan tsunami mematikan, itu fenomena yang perlu dicermati. Apalagi, kerusakan yang ditimbulkannya cukup luas, di puluhan kilometer pantai di Banten pada sisi Timur dan Lampung pada sisi Barat dan Utara.

Secara umum, bisa disebutkan bahwa daya rusak itu cukup kuat jika pantai tersebut tidak jauh dari sumber tsunami, yakni titik terjadinya deformasi bawah laut. Untuk kasus longsor ini, efek tsunami yang muncul akan semakin besar ketika massa material yang longsor lebih besar, medan longsoran makin terjal dan dalam. Syarat ini boleh jadi terpenuhi di lereng Krakatau.

Belum lagi Sabtu malam itu saat bulan purnama. Permukaan laut tinggi dan gelombang cukup besar. Kombinasi dari sejumlah unsur alam itu yang oleh BMKG disebut dapat membangkitkan gelombang tsunami yang lebih besar dan lebih  kuat. Tiga buah pulau kecil yang  mengelilingi Gunung Krakatau, yakni Pulau Krakatau, Krakatau Kecil, dan Sertung, tak sanggup meredamnya.

Tanjung Lesung yang berjarak 49 km dari Krakatau mendapat pukulan paling telak. Menurut warga, tsunami yang menerjang setinggi 4 meter dan datang sekitar 24 menit setelah longsoran bawah laut terjadi. Di Pantai carita dan Anyer tinggi gelombang diperkirakan lebih kecil sekitar 2-2,5 meter--itupun cukup merusak dan mematikan.

Tsunami itu tidak terendus oleh jaringan buoy pendeteksi gelombang yang ada. BMKG mengatakan bahwa buoy yang ada tak dirancang untuk mendeteksi tsunami. Alat deteksi yang tersedia hanyalah seismograf, yang mendeteksi gelombang getaran vulkanik Krakatau. Tak ada sensor longsoran tanah atau pun lonjakan gelombang laut. Situasi ini sudah berlangsung berpuluh tahun.

Sejak membuat letusan dahsyat yang menguncang  dunia pada 1883--erupsi yang menewaskan 36 ribu orang dengan sebaran debunya mencapai New York dan Oslo, badan gunung setinggi 800 m dengan tiga kawah itu hancur lenyap oleh ledakan hebat itu. Betapa tidak, energi yang dilepas dalam ledakan gunung  selama dua hari itu setara dengan ledakan 30.000 bom atom Hiroshima-Nagasaki.  Pulau Rakata yang menjadi penyangga tubuh gunung lenyap, tenggelam di bawah laut.

Krakatau muncul kembali sebagai gundukan kecil pada 1927, dan terus tumbuh dengan kecepatan 4-6 meter per tahun hingga  kini mencapai 300 meter. Sebagian orang menamainya Anak Krakatau. Namun, secara umum disebut Krakatau. Aktivitas vulkaniknya terus berjalan, namun tidak menebar ancaman serius.

Namun orang tidak boleh terlena dengan Krakatau. Gunung ini masih menyimpan potensi ancaman. Oleh karenanya, Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya untuk memasang jaringan perangkat teknologi yang dapat memantau segala gerak-gerik Krakatau.

Bukan hanya memantau gelombang getarannya, juga dinamika fisik lainnya, termasuk deformasi bawah laut, yang bisa menimbulkan ancaman bagi alam sekeliling. Perkakas deteksi itu bermanfaat untuk memberikan peringatan dini. (P-1)